Wednesday, March 23, 2016

Demo Massal Taksi di Jakarta: Ada Apa di Baliknya?

Mungkin ini agak telat. Berikut ini analisis mahasiswa ekonomi gadungan (saya) terkait isu demo taksi kemarin.

Semester ini saya mengambil mata kuliah ekonomi industri. Di matkul ini banyak membahas mengenai struktur pasar dengan fokus ke oligopoli (ketika pasar dikuasai oleh beberapa penjual saja). Industri taksi di Indonesia pun bisa dibilang oligopoli. Hanya hitungan jari saja perusahaan yang marak beroperasi, terlebih lagi market share perusahaan yang paling marak beroperasi sangat dominan.

Masalah dari oligopoli ini sendiri adalah timbulnya interdependensi. Maksudnya adalah karena hanya ada beberapa penjual, persaingan pun menjadi ketat. Jika perusahaan A menurunkan harga, perusahaan B pun tidak mau kalah. Hal-hal seperti itu. Nah, karena adanya interdependensi, seringkali berujung pada kolusi untuk mempermudah aktivitas mereka. Salah satu bentuk kolusi yang cukup parah yaitu kartel. Kartel adalah kerja sama antar perusahaan untuk menetapkan harga, membatasi suplai, dan mengurangi kompetisi. Kartel dilarang hampir di semua negara, termasuk Indonesia, karena merugikan konsumen.

Bukan tidak mungkin industri taksi di Indonesia terdapat kartel. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sudah mencium adanya kartel, namun entah kenapa berita ini sepertinya mudah sekali dikubur, karena tidak ada tindak lanjutnya.

Sehingga masalah kali ini bisa jadi muncul karena adanya pendatang baru, perusahaan aplikasi transportasi, yang bukan merupakan member dari kartel tersebut, namun operasionalnya 'mengganggu' kartel karena menambah persaingan. Sementara tujuan kartel itu sendiri adalah untuk melenyapkan persaingan. Contohnya ditetapkannya tarif bawah taksi, itu pun pada awalnya usulan dari Organisasi Angkutan Darat yang diketuai oleh salah satu pemilik perusahaan taksi. Tarif bawah ini ditetapkan agar tidak terjadi price war antar taksi. Agar semua senang, mendapat porsinya masing-masing. Kedengarannya bagus, tapi untuk konsumen, jelas merugikan karena tidak ada pilihan lain dan tarif yang seharusnya bisa lebih murah, jadi lebih mahal.

Ketika perusahaan taksi tahu mereka tidak mampu bersaing dengan perusahaan aplikasi transportasi, mereka memprovokasi para supir. Mana ada supir taksi yang melek hukum, mengkaji pajak, dll tuntutan mereka? Mungkin ada namun sedikit. Dan tak mungkin semuanya mengkaji. Pasti ada pihak yang memprovokasi. Para supir mudah tersulut emosinya karena mereka pun merasa terganggu, merasa tidak aman dalam pekerjaan mereka karena adanya saingan yang lebih murah, penumpang pun berkurang. Mereka pun menelan bulat-bulat, mempercayai fakta yang diberikan, kemudian demo besar-besaran. Hal ini menjadi salah satu pemicu untuk meningkatkan bargaining power kartel taksi. Kartel taksi pun puas.

"Ah, tapi kan citra taksi jadi jelek, beralih aja ah" "Bukannya malah merugikan ya? Kan orang-orang jadi pada gak mau naik" Fenomena hari ini yang saya alami justru teman saya yang jarang naik taksi, memesan taksi karena hari ini digratiskan. Taksi masih mendapat tempat di hati orang-orang. Contohnya di mall, lebih mudah mendapat taksi karena ada pool dan tidak perlu menunggu. Penumpang yang supermarginal (sebenarnya mampu membayar lebih dari tarif taksi) pun tidak akan terganggu, toh sudah terbiasa naik taksi dan tarif bukan masalah. Mungkin penumpang yang marginal memang akan beralih. Masih ada juga generasi berumur yang tidak paham jika harus memesan melalui aplikasi. Perusahaan pun ada yang bekerja sama memberikan voucher taksi gratis jika lembur.

Perusahaan aplikasi transportasi memang bisa lebih murah karena mereka tidak terikat dengan kartel. Tarif mereka bisa menyesuaikan dengan mekanisme pasar. Penumpang tidak akan mau beralih dari taksi yang mereka sudah biasa tumpangi, jika tarif Uber dan Grab tidak mampu bersaing. Market research pun pasti sudah dilakukan untuk menentukan tarif. Bukannya karena 'monopoli harga' seperti yang dituduhkan supir taksi.

Jadi, untuk supir taksi, sadarlah kalian itu dimanfaatkan. Kalau mau demo, sebaiknya ke kantor pusat kalian. Kenapa mereka tidak mampu bersaing? Kenapa mereka malah menjatuhkan, bukannya memikirkan strategi? Ada apa di balik ini semua?

Sekian dan terima kasih :)

4 comments:

  1. Oh Gosh... ini artikel pengkajian yg kubaca detail banget loh! Kemaren2 gak begitu ngikutin perkembangan berita soal demo massal ini. ternyata oh ternyataa...

    tulisandarihatikecilku.blogspot.co.id

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe semoga membantu ya sist, tapi ini hanya opini aku aja sih :)

      Delete
  2. Oligopilo hehehe.. Baru tau nih.. Pasti nya mereka hanya pion pion perusahaan besar yang takut bersaing.. Hhhhh.. Seandainya indonesia mempunyai taksi online sendiri yang tidak dikelola swasta asing alangkah bagusnya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa benar, hmm bisa saja gojek jadi ada go-car mungkin? Tapi menurut aku sih ga mungkin yaa, bakal menuai banyak protes soalnya, dan gak aman aja sih pasti makin didemo.. Mending bagusin di yang udah ada aja.. Sebenarnya enaknya kalau perusahaan taksi yang sudah ada merambah ke online juga ya, walau Blue Bird udah ada tapi masih jelek menurut aku agak asal-asalan.. Entah kenapa bukannya dibagusin malah protes..

      Delete

 

Template by Suck My Lolly - Background Image by TotallySevere.com